Asma Nadia : Miss or Mrs. Kog


Kalau kamu muslimah yang sering mengawali pertanyaan kepada temanmu dengan kata "kok", hati-hati deh.

Inna seorang penulis terkenal yang punya banyak pembaca fanatik. Suatu ketika pulang dari pameran buku di Senayan. Inna bertemu dengan teman semasa kuliah. Mereka pun berjalan bersisian ke luar dari tempat pameran, melewati tempat parkir, menuju pintu keluar. Lalu sama-sama menunggu kendaraan umum. Si teman yang kaget karena Inna masih naik kendaraan umum, serta merta bertanya,
  "Kok penulis terkenal gak punya mobil, sih?"

"Kok" itu bukan awal pertanyaan yang murni, sebab di "kok" kamu sudah menjudge lawan bicaramu. "Kok" menunjukkan kamu punya pendapat lain tentang sesuatu itu (dalam hal kisah di atas, si teman berpendapat harusnya Inna sudah punya mobil), atau hal itu doesn't feel right  menurut si teman (Inna ga punya mobil terasa aneh buat si teman).

Pertanyaan si teman terhadap Inna gak bakalan menyinggung perasaan, kalau saja Inna memang punya mobil dan kebetulan saat itu rusak. Tapi bagaimana kalau Inna memang belum punya kendaraan? Honornya ternyata tidak sebesar itu, maklum Inna tinggal di Indonesia yang pajak buku aja dibebankan ke penulis, atau Inna baru aja menjual mobilnya untuk bayar hutang rumah sakit, ketika suaminya sakit parah beberapa waktu lalu.

Si teman gak bakal tahu itu, kan? Kamu juga gak selalu tahu apa yang telah dilalui temanmu. Bisa-bisa tiga huruf "kok" yang kamu keluarkan itu terdengar "kejam dan sadis" di telinga orang lain.
Kalau kisah di atas ternyata berlanjut dan sebuah suzuki carry gak lama menghampiri Inna, pertanyaan kok yang lain bisa saja keluar dari mulut Mrs. Kok.
"Kok penulis terkenal mobilnya carry, sih?"
Dan begitu banyak "kok-kok" yang lain yang sungguh nyebelin, dan menunjukkan keikutcampuran kamu dalam urusan yang bukan urusan kamu, seperti yang dilakukan si teman.
So what gitu loh kalau Inna memang belum punya mobil?
So what gitu loh kalau Inna baru punya suzuki carry?

Kenapa hal seperti itu bisa mengganggumu?
Jadi jika ada temanmu yang kamu anggap mapan, anak orang kaya, setelah menikah lalu melahirkan di rumah sakit pemerintah yang super murah, tidak usah puaskan keingintahuanmu dengan pertanyaan "kok", semisal :
"Kok melahirkan disini, sih? Kenapa gak disana? Bukannya babe kamu direksi sana?" Itu jelas melukai perasaan. Bisa saja ayahnya muslimah temanmu bangkrut, atau pernikahan temanmu tidak terlalu direstui sehingga si ayah marah dan tidak mau tahu. Atau temanmu dan suaminya bersungguh-sungguh ingin mandiri sebagai suami-istri. Mungkin saja, kan?

Hindari juga "kok" sejenis seperti ini:
"Kok kamu dirawat di rumah sakit di kelas tiga sih? Kan gak enak, banyak orang! Gak ada AC. Panas dan repot lho gak bisa buka jilbab... dst"

Kamu gak pernah tahu, hal sejelek apa yang telah dialami temanmu

Plis deh, yang namanya rumah sakit apalagi kelas tiga memang banyak orang, dan gak enak. Apalagi buat yang pakai jilbab, semua orang juga tahu! Lebih baik kamu pinter baca kondisi dan situasi orang lain, sehingga kamu akan tahu bahwa temanmu itu sedang punya masalah keuangan, makanya gak seperti biasa, dia kali itu dirawat di ruang perawatan kelas tiga.
Atau ini:
Mengomentari helai demi helai yang terlihat di atas bantal teman sesama muslimah, ketika acara training keislaman dan kalian sekamar berdua:
"Kok rambut kamu rontok sih?"
Coba pikir deh, kira-kira si muslimah tahu gak sih kalau rambutnya rontok? Ya tahu lah! Jadi kalimatmu sama sekali gak membantu! Malah bisa-bisa nambahin frustasi. Beda deh kalau kamu datang dengan solusi yang terdengar simpatik.
"Eh, uda coba daun ini gak? Katanya sih bisa ngurangin kerontokan rambut, lho!"
But, kalau kamu gak punya alternatif saran apa pun, please shut up! Don't be Miss or Mrs Kok yang nyebelin!

Asma Nadia -Jangan jadi muslimah nyebelin!-

***

Note diatas merupakan the best part of Buku Jangan Jadi Muslimah Nyebelin- nya Asma Nadia. Nice book! Recomended bgt deh, biar pada enggak jadi muslimah nyebelin!! Ahaha :D

Komentar